Wednesday, February 19, 2014

Sistem Pemerintahan Presidensil dan Parlementer

Sistem Pemerintahan Presidensil
A.   Pengertian
Sistem presidensial (presidensial), atau disebut juga dengan sistem kongresional, merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasaneksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif.
Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensiil terdiri dari 3 unsur yaitu:
§  Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
§  Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan.
§  Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.
Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya.

B.  Ciri-Ciri

Ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidensial adalah sebagai berikut:
o   Penyelenggara negara berada ditangan presiden. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan majelis.
o   Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertangungjawab kepada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif.
o    Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Hal itu dikarenakan presiden tidak dipilih oleh parlemen.
o    Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer.
o    Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan. Anggota parlemen dipilih oleh rakyat.
o    Presiden tidak berada dibawah pengawasan langsung parlemen.
C.  Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial :
  • Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen.
  • Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah lima tahun.
  • Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
  • Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial :

  • Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.
  • Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.
  • Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.
D.  Contoh Negara Yang Memakai Sistem Pemerintahan Presidensial
Model ini dianut oleh Amerika SerikatFilipinaIndonesia dan sebagian besar negara-negara Amerika Latin dan Amerika Tengah.

Sistem Pemerintahan Parlementer
A.  Pengertian
Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Berbeda dengan sistem presidensiil, di mana sistem parlemen dapat memiliki seorang presiden dan seorang perdana menteri, yang berwenang terhadap jalannya pemerintahan. Dalam presidensiil, presiden berwenang terhadap jalannya pemerintahan, namun dalam sistem parlementer presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja.
Sistem parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif pemerintah tergantung dari dukungan secara langsung atau tidak langsung cabang legislatif, atau parlemen, sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang eksekutif dan cabang legislatif, menuju kritikan dari beberapa yang merasa kurangnya pemeriksaan dan keseimbangan yang ditemukan dalam sebuah republik kepresidenan.
Sistem parlemen dipuji, dibanding dengan sistem presidensiil, karena kefleksibilitasannya dan tanggapannya kepada publik. Kekurangannya adalah dia sering mengarah ke pemerintahan yang kurang stabil, seperti dalam Republik Weimar Jerman dan Republik Keempat Perancis. Sistem parlemen biasanya memiliki pembedaan yang jelas antara kepala pemerintahan dan kepala negara, dengan kepala pemerintahan adalah perdana menteri, dan kepala negara ditunjuk sebagai dengan kekuasaan sedikit atau seremonial. Namun beberapa sistem parlemen juga memiliki seorang presiden terpilih dengan banyak kuasa sebagai kepala negara, memberikan keseimbangan dalam sistem ini.

B.  Ciri-ciri
Ciri-ciri dari sistem pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut :
1.    Badan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan lembaga legislatif.
2.    Anggota parlemen terdiri atas orang-orang dari partai politik yang memenangkan pemiihan umum. Partai politik yang menang dalam pemilihan umum memiliki peluang besar menjadi mayoritas dan memiliki kekuasaan besar di parlemen.
3.    Pemerintah atau kabinet terdiri dari atas para menteri dan perdana menteri sebagai pemimpin kabinet. Perdana menteri dipilih oleh parlemen untuk melaksakan kekuasaan eksekutif. Dalam sistem ini, kekuasaan eksekutif berada pada perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Anggota kabinet umumnya berasal dari parlemen.
4.    Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktu-waktu parlemen dapat menjatuhkan kabinet jika mayoritas anggota parlemen menyampaikan mosi tidak percaya kepada kabinet.
5.    Kepala negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan kepala negara adalah presiden dalam negara republik atau raja/sultan dalam negara monarki. Kepala negara tidak memiliki kekuasaan pemerintahan. Ia hanya berperan sebgai symbol kedaulatan dan keutuhan negara.
6.    Sebagai imbangan parlemen dapat menjatuhkan kabinet maka presiden atau raja atas saran dari perdana menteri dapat membubarkan parlemen. Selanjutnya, diadakan pemilihan umum lagi untuk membentukan parlemen baru.
C.  Kelebihan Dan Kekurangan
Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer:

  • Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
  • Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan public jelas.
  • Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer :

  • Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
  • Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bias ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
  • Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai meyoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
  • Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.
D.  Contoh Negara Yang Memakai Sistem Pemerintahan Parlementer

Negara Yang Memakai Sistem Pemerintahan Parlementer ialah Inggris, Jepang, Belanda, Malaysia, dan Singapura.

Implementasi Teknologi Komunikasi


Implementasi Teknologi Komunikasi


Implementasi dapat diartikan sebagai seluruh kegiatan yang dilakukan untuk menggunakan teknologi komunikasi. Implementasi sendiri secara harfiah berarti penerapan. Dalam prakteknya, penerapan teknologi komunikasi harus didahului oleh penguasaan keterampilan mengoperasikan teknologi komunikasi tersebut. Karena tanpa keterampilan menguasai teknis, suatu teknologi komunikasi tidak akan mungkin diterapkan oleh seseorang. Hal ini mengisyaratkan teknologi komunikasi sebuah inovasi.
Teknologi komunikasi merupakan sistem teknologis dan untuk pemakaiannya manusia perlu mengaturnya sesuai dengan nilai – nilai yang diisyaratkan oleh teknologi komunikasi itu sendiri. Nilai – nilai itu bisa bertentangan dengan nilai yang telah ada atau dianut oleh suatu masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan   penerapan teknologi komunikasi sering melahirkan masalah dalam kehidupan sosial masyarakat. Perspektif Teknologi Komunikasi terdiri dari 4 bagian, yaitu:
·         Teknosentrik, pada bagian ini memandang bagaimana teknologi mengubah masyarakat
·         Sosiosentrik yaitu Bagaimana lingkungan yang ada menciptakan teknologi, dimana teknologi ada karena kebutuhan sosial.
·         Konflik yaitu dimana teknologi dapat muncul karena konflik kepentingan atau kebijakan politik. Contoh : TV Digital.
·         Desain Sistem. Dari tiga sistem yang telah ada dapat mengubah kebiasaan masyarakat, karena dari tiga sistem tersebut dapat menciptakan teknologi baru.

            Implementasi  teknologi komunikasi ditentukan oleh sejauh mana teknologi Komunikasi tersebut mampu membuka akses pada berbagai pelayanan dan jarinagan informasi. Semakin banyak pelayanan dan jaringan informasi yang bisa diakses oleh sebuah teknologi komunikasi, semakin banyak pula orang yang mengimplementasikannya. Namun asumsi ini hanya berlaku bagi masyarakat informasi saja. Lalu bagaimana dengan masyarakat di Indonesia?

Kondisi masyarakat Indonesia saat ini:
·         Ada yang sudah masuk pada tataran masyarakat informasi
·         Ada yang masuk pada tataran masyarakat industri
·         Ada yang masuk pada tataran masyarakat agraris
·         Ada yang masih dalam  kondisi masyarakat primitif
Difusi Inovasi
            Munculnya Teori Difusi Inovasi dimulai pada awal abad ke-20, tepatnya pada tahun ke 1903 ketika seorang sosiolog Perancis bernama Gabriel Tarde, memperkenalkan Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekelompok orang dilihat dair dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu lainnya yang menggambarkan dimensi waktu.
Pemikiran Tarde menjadi penting karena secara sederhana bisa menggambarkan kecenderungan yang terkait dengan proses difusi inovasi. Rogers (1983) mengatakan, Tarde’s S-shaped diffusion curve is of current importance because “most innovations have an S-shaped rate of adoption”. Dan sejak saat itu tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-penelitian sosiologi.
Pada tahun 1940, dua orang sosiolog, Bryce Ryan dan Neal Gross, mempublikasikan hasil penelitian difusi tentang jagung hibrida pada para petani di Iowa, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini memperbarui sekaligus menegaskan tentang difusi inovasi model kurva S. Salah satu kesimpulan penelitian Ryan dan Gross menyatakan bahwa “The rate of adoption of the agricultural innovation followed an S-shaped normal curve when plotted on a cumulative basis over time.”
Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun 1960, di mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik yang lebih kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan sebagainya. Di sinilah muncul tokoh-tokoh teori Difusi Inovasi seperti Everett M. Rogers dengan karya besarnya Diffusion of Innovation (1961); F. Floyd  Shoemaker yang bersama Rogers menulis Communication of Innovation: A Cross Cultural Approach (1971) sampai Lawrence A. Brown yang menulis Innovation Diffusion: A New Perpective (1981).
Teori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial.
Sesuai dengan pemikiran Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu :
1.      Inovasi, gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan suatu inovasi diukur secara subjektif sesuai dengan pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali. Inovasi memiliki 5 sifat yaitu : 1. Relativitas keuntungan, 2. Kesesuaian, 3. Kerumitan, 4. Reliabilitas, dan 5. Kebiasaan diamati.

2.      Saluran Komunikasi, yaitu “alat” untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima pesan. Dalam memilih saluran komunikasi sumber paling tidak perlu untuk memperhatikan tujuan diadakannya komunikasi dan karakteristik penerimanya. Jika komunikasi bertujuan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang besar dan tersebar maka media massa adalah saluran yang tepat untuk menyampaikannya. Tetapi jika komunikasi ditujukan untuk mengubah perilaku si penerima maka saluran interpersonal adalah saluran yang tepat untuk menyampaikannya.

3.      Jangka waktu, proses keputusan inovasi, mulai dari seseorang mengetahui sampai akhirnya memutuskan untuk menolak atau menerimanya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. 

4.      Sistem sosial, kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama.
PROSES IMPLEMENTASI TEKNOLOGI KOMUNIKASI
Proses Implementasi Teknologi Komunikasi dapat digambarkan sebagai berikut :
1.      Tahap pertama : Inisiasi, yaitu usaha untuk mengumpulkan informasi tentang teknologi komunikasi, memahami dengan seksama dan merencanakan untuk membuat pengadopsian. Tahap ini mempunyai dua tingkat, yaitu :
·         Agenda Setting, yaitu munculnya ide untuk mengadopsi teknologi komunikasi.
·         Matching, yaitu kecocokan teknologi komunikasi dengan kebutuhan dan kemampuan untuk mengadopsi.
2.      Tahap kedua : Implementasi, yaitu seluruh kegiatan dan aktifitas yang dilakukan untuk menggunakan teknologi komunikasi yang diinginkan. Tahap ini memiliki tiga tingkat :
·         Redefining, yaitu mengatur, menyusun dan memodifikasi struktur lembaga/mentalitas dan kebiasaan individu untuk keperluan teknologi komunikasi.
·         Clarifying, yaitu meyakinkan pada anggota baru atau individu tentang seluk beluk teknologi komunikasi yang dimaksud.
·         Routinizing, yaitu teknologi komunikasi sudah diketahui secara jelas dan sudah menjadi bagian dari infrastruktur dari organisasi ataupun sebagai pelengkap dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, proses adopsi inovasi hingga implementasi teknologi komunikasi dapat disimpulkan melalui 5 proses yaitu :
·         Agenda Setting
·         Matching
·         Redefining
·         Clarifying
·         Routinizing
Implementasi teknologi komunikasi memaksa individu untuk melakukan suatu adaptasi agar dapat melewati prosesnya dengan baik. Adaptasi tersebut adalah penyesuaian nilai-nilai yang dibawa teknologi komunikasi dengan kondisi sosio-kultural dimana individu tersebut tinggal.
KATEGORI ADAPTER
            Anggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok adapter atau penerima inovasi sesuai dengan tingkat kecepatan dalam menerima inovasinya. Salah satu pengelompokkan yang dapat dijadikan pedoman adalah pengelompokkan berdasarkan kurva adopsi yang telah diuji oleh Rogers (1961). Gambaran tentang pengelompokkan adopter dapat dilihat sebagai berikut :
·         Innovators: Sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi. Cirinya: petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi. Hubungan  sosial mereka cenderung lebih erat dibanding kelompok sosial lainnya. Orang-orang seperti ini lebih dapat membentuk komunikasi yang baik meskipun terdapat jarak geografis. Biasanya orang-orang ini adalah mereka yang memeiliki gaya hidup dinamis di perkotaan yang memiliki banyak teman atau relasi.
·         Early Adopters (Perintis/Pelopor): 13,5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses di dalam tinggi. Kelompok ini lebih lokal dibanding kelompok inovator. Kategori adopter seperti ini menghasilkan lebih banyak opini  dibanding kategori lainnya, serta selalu mencari informasi tentang inovasi. Mereka dalam kategori ini sangat disegani dan dihormati oleh kelompoknya karena kesuksesan mereka dan keinginannya untuk mencoba inovasi baru.
·         Early Majority (Pengikut Dini): 34% yang menjadi para pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi. Kategori pengadopsi seperti ini merupakan mereka yang tidak mau menjadi kelompok pertama yang mengadopsi sebuah inovasi. Sebaliknya, mereka akan dengan berkompromi secara hati-hati sebelum membuat keputusan dalam mengadopsi inovasi, bahkan bisa dalam kurun waktu yang lama. Orang-orang seperti ini menjalankan fungsi penting dalam melegitimasi sebuah inovasi, atau menunjukkan kepada seluruh komunitas bahwa sebuah inovasi layak digunakan atau cukup bermanfaat.
·         Late Majority (Pengikut Akhir): 34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan social, terlalu hati-hati. Kelompok ini lebih berhati-hati mengenai fungsi sebuah inovasi. Mereka menunggu hingga kebanyakan orang telah mencoba dan mengadopsi inovasi sebelum mereka mengambil keputusan. Terkadang, tekanan dari kelompoknya bisa memotivasi mereka. Dalam kasus lain, kepentingan ekonomi mendorong mereka untuk mengadopsi inovasi.
·         Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional): 16% terakhir adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders, sumberdaya terbatas. Kelompok ini merupakan orang yang terakhir melakukan adopsi inovasi. Mereka bersifat lebih tradisional, dan segan untuk mencoba hal hal baru. Kelompok ini biasanya lebih suka bergaul dengan orang-orang yang memiliki pemikiran sama dengan mereka. Sekalinya sekelompok laggard mengadopsi inovasi baru, kebanyakan orang justru sudah jauh mengadopsi inovasi lainnya, dan menganggap mereka ketinggalan zaman.

SEJARAH EKONOMI INDONESIA SEJAK ORDE LAMA HINGGA PEMERINTAHAN REFORMASI

SEJARAH EKONOMI INDONESIA
SEJAK ORDE LAMA HINGGA PEMERINTAHAN REFORMASI


A.    PENDAHULUAN
Pola dan proses dinamika pembangunan ekonomi di suatu negara ditentukan oleh factor internal maupun eksternal.
Faktor internal, di antaranya:
1.       kondisi fisik (termasuk iklim)
2.      letak geografi
3.      jumlah dan kualitas SDA dan SDM
4.      kondisi awal ekonomi
5.      social dan budaya
6.      system politik
7.      peranan pemerintah
Faktor eksternal, di antaranya:
1.       perkembangan teknologi
2.      kondisi perekonomian dan politik dunia
3.      keamanan global
Yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi bukan “warisan” dari negara penjajah, melainkan orientasi politik, system ekonomi, serta kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh rezim pemerintahan yang berkuasa setelah lenyapnya kolonialisasi, terutama pada tahun-tehun pertama setelah merdeka karena tahun-tahun tersebut merupakan periode yang sangat kritis yang sangat menentukan pembangunan selanjutnya.
Pengalaman Indonesia sendiri menunjukkan bahwa pada jaman pemerintahan orde lama, rezim yang berkuasa menerapkan system ekonomi tertutup dan lebih mengutamakan kekuatan militer daripada kekuatan ekonomi.  Ini semua menyebabkan ekonomi nasional pada masa itu mengalami stagnasi, pembangunan praktis tidak ada.

B.    PEMERINTAHAN ORDE LAMA
Setelah merdeka, khususnya pada tahun-tahun pertama setelah kemerdekaan, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk, ekonomi nasional boleh dikatakan mengalami stagflasi.  Defisit neraca saldo pembayaran dan defisit keuangan pemerintah sangat besar, kegiatan produksi di sector pertanian dan industri manufaktur praktis terhenti, tingkat inflasi sangat tinggi hingga mencapai lebih dari 500 % menjelang akhir periode orde lama.  Semua ini disebabkan oleh berbagai factor, di antaranya:
1.       pendudukan Jepang
2.      Perang Dunia II
3.      perang revolusi
4.      manajemen ekonomi yang buruk
5.      ketidakstabilan kehidupan po;itik
6.      seringnya pergantian kabinet
7.      keterbatasan factor produksi
Selama periode 1950-an, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan jaman kolonialisasi.  Pada umumnya kegiatan ekonomi yang masih dikuasai pengusaha asing tersebut lebih padat kapital dibanding  kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi pengusaha pribumi.
Struktur ekonomi seperti itu disebut Dual Societes oleh Boeke (1954), yang merupakan salah satu karakteristik utama dari negara-negara sedang berkembang, yang merupakan  warisan kolonianisasi.  Dualisme di dalam struktur ekonomi seperti ini terjadi karena biasanya pada masa penjajahan pemerintah yang berkuasa menerapkan diskriminasi dalam kebijakan-kebijakannya, baik yang bersifat langsung seperti mengeluarkan peraturan atau undang-undang, maupun yang tidak langsung.  Diskriminasi ini sengaja diterapkan untuk  membuat perbedaan dalam kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu antara penduduk asli dan orang-orang non pribumi.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda (dan asing lainnya) yang dilakukan pada 1957 dan 1958 adalah awal dari periode “ekonomi terpimpin”.  System politik dan ekonomi pada masa orde lama, khususnya setelah “ekonomi terpimpin” dicanangkan, semakin dekat dengan pemikiran sosialis-komunis.  Sebenarnya pemerintah khususnya dan masyarakat umumnya, memilih pemikiran politik berbau komunis hanya merupakan refleksi dari perasaan anti kolonialisasi, anti imperealisasi dan anti kapitalisasi pada masa itu.  Di Indonesia pada masa itu prinsip individualisme, persaingan bebas dan perusahaan swasta/asing sangat ditentang oleh pemerintah dan masyarakat umumnya prinsip tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran kapitalisme.
Keadaan ini membuat Indonesia sulit mendapat dana (pinjaman dan Penanaman Modal Asing) dari negara-negara barat.  Sumber utama PMA di Indonesia berasal dari Belanda.
Akhir Sptember 1965, ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari PKI, yang selanjutnya juga mengubah system ekonomi Indonesia dari sosialis ke semikapitalis.

C.    PEMERINTAHAN ORDE BARU
Tepatnya Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan orde baru.  Perhatian pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan social di tanah air.  Hubungan dengan negara barat dijalin kembali dan ideology komunis dijauhi.  Indonesia kembali menjadi anggota PBB, IMF dan World Bank.
Langkah yang dilakukan pada masa orde baru antara lain:
1.       pemulihan stabilitas ekonomi, social dan politik serta rehabilitasi ekonomi
2.      mencukupkan stok cadangan bahan pangan (terutama beras)
3.      menghidupkan kegiatan produksi
4.      meningkatkan ekspor
5.      menekan tingkat inflasi
6.      mengurangi defisit keuangan pemerintah
7.      menciptakan lapangan pekerjaan
8.      mengundang kembali investor asing
9.      penyusunan rencana pembangunan lima tahun secara bertahap dengan target-target yang jelas
Secara keseluruhan program ekonomi pemerintah orde baru dibagi menjadi dua jangka waktu yang saling berkaitan yaitu Program jangka pendek dan Program jangka panjang.  Program jangka pendek meliputi:
1.       tahap penyelamatan (Juli-Desember 1966)
2.      tahap rehabilitasi (Januari-Juni 1967)
3.      tahap konsolidasi (Juli-Desember 1967)
4.      tahap stabilisasi (Januari-Juni 1968)
Program jangka pendek ini dilanjutkan dengan program jangka panjang, yang terdiri atas rangkaian REPELITA yang dimulai April 1969.  program jangka panjang dibagi menjadi tahapan-tahapan Repelita.  Tahap pelaksanaan Pelita I (1969/1970) sampai Pelita V (1993/1994) disebut Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun Pertama (PJP I).  Sedangkan Pelita VI sampai Repelita X disebut PJP II.  Namun pemerintah orde baru hanya dapat menyelesaikan sampai tahap pembangunan pelita VI sedangkan pelita VII hanya sempat dilaksanakan satu tahun anggaran.
Adapun tujuan janka  panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa orde baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui proses industrialisasi dalam skala besar, yang pada saat itu diangggap satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran.
Pada masa pemerintahan orde baru pelaksanaan pembangunan senantiasa  diarahkan pada pencapaian tiga sasaran pembangunan, meskipun prioritasnya berubah-ubah sesuai dengan masalah dan situasi yang dihadapi saat ini.  Ketiga sasaran tersebut dikenal dengan Trilogi Pembangunan:
•         stabilitas perekonomian
•         pertumbuhan ekonomi
•         pemerataan hasil-hasil  pembangunan
Dampak Repelita I dan pelita-pelita berikutnya terhadap perekonomian Indonesia cukup mengagumkan.  Proses pembangunan berjalan sangat cepat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun yang cukup tinggi, jauh lebih baik daripada selama orde lama dan juga relatif lebih tinggi daripada laju rata-rata pertumbuhan ekonomi dari kelompok negara-negara berkembang.
Perubahan ekonomi structural juga sangat nyata selama masa orde baru bila dilihat dari perubahan PDB, terutama dari sector pertanian dan industri.  Meningkatnya kontribusi output dari sector industri manufaktur terhadap pertumbuhan PDB selama periode orde baru mencerminkan adanya proses industrialisasi atau transformasi ekonomi di Indonesia dari negara agraris ke semi industri.  Ini merupakan salah satu perbedaan nyata dalam sejarah perekonomian Indonesia antara rezim orde baru dengan orde lama.
Sejak masa orde lama hingga berakhirnya orde baru dapat dikatakan Indonesia telah mengalami 2 orientasi kebijakan ekonomi yang berbeda, yakni ekonomi tertutup yang berorientasi sosialis pada  jaman Soekarno ke ekonomi terbuka yang berorientasi kapitalis pada jaman Soeharto.  Perubahan orientasi kebijakan ekonomi ini membuat kinerja ekonomi nasional pada pemerintahan orde baru lebih baik dibanding pemerintahan orde lama.
Pengalaman ini menunjukkan beberapa kondisi utama yang harus  dipenuhi terlebih  dahulu agar usaha  membangun ekonomi berjalan baik.  Kondisi-kondisi tersebut adalah sebagai berikut:
1.       kemauan yang kuat (political will)
2.      stabilitas politik dan ekonomi
3.      SDM yang lebih baik
4.      system politik dan ekonomi yang Western Oriented
5.      kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik
Kebijakan-kebijakan ekonomi masa orde baru memang telah menghasilkan proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi dengan biaya yang sangat mahal dan fundamental  ekonomi yang rapuh.  Dapat dilihat antara lain pada buruknya kondisi sector perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing, termasuk pinjaman dan impor.

D.   PEMERINTAHAN TRANSISI
Tanggal 14 dan 15 Mei 1997 nilai tukar bath Thailand terhadap dolar AS mengalami goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan “jual”.  Mereka mengambil sikap demikian karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk jangka pendek.  2 Juli 1997 bank sentral Thailand terpaksa mengumumkan nilai tukar bath dibebaskan dari ikatan dengan dolar AS.  Sejak itu nasibnya diserahkan sepenuhnya pada pasar.  Hari itu juga pemerintah Thailand meminta bantuan IMF.
Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara asia lainnya, awal dari krisis keuangan di Asia.  Rupiah Indonesia  mulai terasa goyang sekitar Juli 1997 dari Rp.2500 menjadi Rp.2650 per dolar AS.  Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil.
Sekitar September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional.  Untuk mencegah agar keadaan tidak bertambah buruk, pemerintah orde baru mengambil beberapa langkah konkrit, di antaranya menunda proyek-proyek senilai Rp.39 trilyun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi perubahan nilai rupiah tersebut.  Awalnya pemerintah berusaha menangani krisis rupiah ini dengan kekuatan sendiri.  Akan tetapi setelah menyadari merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak dapat dibendung lagi dengan kekuatan sendiri, lebih lagi karena cadangan dolar AS di BI mulai menipis karena terus digunakan untuk intervensi untuk menahan atau untuk mendongkrak kembali nilai tukar rupiah.  8 Oktober 1997 pemerintah Indonesia meminta bantuan keuangan dari IMF.  Hal yang sama juga dilakukan pemerintah Thailand, Filiphina dan Korea Selatan.
Akhir Oktober 1997 IMF mengumumkan paket bantuannya pada Indonesia yang mencapai 40 milyar dolar AS, 23 milyar di antaranya adalah pertahanan lapis pertama (front line defence).  Sehari setelah pengumuman itu, seiring dengan paket reformasi yang ditentukan oleh IMF, pemerintah mengumumkan pencabutan ijin usaha 16 bank swasta  yang dinilai tidak sehat.  Ini merupakan awal kehancuran perekonomian Indonesia.
Krisis rupiah yang menjelma menjadi krisis  ekonomi akhirnya menimbulkan krisis politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka.  21 Mei 1998 presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh wakilnya BJ.Habibie. 23 Mei 1998 presiden Habibie membentuk kabinet baru, awal terbentuknya pemerintahan transisi.

E.    PEMERINTAHAN REFORMASI
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan.  Laju pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0 % dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5 %.
Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satupun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik.  Berbagai kerusuhan social yang bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan di Aceh, Maluku, dsb.  Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elit politik semakin besar.

Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU no.23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia, penetapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya.  Tidak tuntasnya revisi tersebut menyebabkan IMF menunda pencairan bantuannya, padahal roda perekonomian nasional saat itu bergantung  pada bantuan IMF.  Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara  donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia  dengan kondisi perekonomian yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali hutangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo pada 2002.  bahkan Bank Dunia  juga mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.