Wednesday, February 19, 2014

SEJARAH EKONOMI INDONESIA SEJAK ORDE LAMA HINGGA PEMERINTAHAN REFORMASI

SEJARAH EKONOMI INDONESIA
SEJAK ORDE LAMA HINGGA PEMERINTAHAN REFORMASI


A.    PENDAHULUAN
Pola dan proses dinamika pembangunan ekonomi di suatu negara ditentukan oleh factor internal maupun eksternal.
Faktor internal, di antaranya:
1.       kondisi fisik (termasuk iklim)
2.      letak geografi
3.      jumlah dan kualitas SDA dan SDM
4.      kondisi awal ekonomi
5.      social dan budaya
6.      system politik
7.      peranan pemerintah
Faktor eksternal, di antaranya:
1.       perkembangan teknologi
2.      kondisi perekonomian dan politik dunia
3.      keamanan global
Yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi bukan “warisan” dari negara penjajah, melainkan orientasi politik, system ekonomi, serta kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh rezim pemerintahan yang berkuasa setelah lenyapnya kolonialisasi, terutama pada tahun-tehun pertama setelah merdeka karena tahun-tahun tersebut merupakan periode yang sangat kritis yang sangat menentukan pembangunan selanjutnya.
Pengalaman Indonesia sendiri menunjukkan bahwa pada jaman pemerintahan orde lama, rezim yang berkuasa menerapkan system ekonomi tertutup dan lebih mengutamakan kekuatan militer daripada kekuatan ekonomi.  Ini semua menyebabkan ekonomi nasional pada masa itu mengalami stagnasi, pembangunan praktis tidak ada.

B.    PEMERINTAHAN ORDE LAMA
Setelah merdeka, khususnya pada tahun-tahun pertama setelah kemerdekaan, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk, ekonomi nasional boleh dikatakan mengalami stagflasi.  Defisit neraca saldo pembayaran dan defisit keuangan pemerintah sangat besar, kegiatan produksi di sector pertanian dan industri manufaktur praktis terhenti, tingkat inflasi sangat tinggi hingga mencapai lebih dari 500 % menjelang akhir periode orde lama.  Semua ini disebabkan oleh berbagai factor, di antaranya:
1.       pendudukan Jepang
2.      Perang Dunia II
3.      perang revolusi
4.      manajemen ekonomi yang buruk
5.      ketidakstabilan kehidupan po;itik
6.      seringnya pergantian kabinet
7.      keterbatasan factor produksi
Selama periode 1950-an, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan jaman kolonialisasi.  Pada umumnya kegiatan ekonomi yang masih dikuasai pengusaha asing tersebut lebih padat kapital dibanding  kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi pengusaha pribumi.
Struktur ekonomi seperti itu disebut Dual Societes oleh Boeke (1954), yang merupakan salah satu karakteristik utama dari negara-negara sedang berkembang, yang merupakan  warisan kolonianisasi.  Dualisme di dalam struktur ekonomi seperti ini terjadi karena biasanya pada masa penjajahan pemerintah yang berkuasa menerapkan diskriminasi dalam kebijakan-kebijakannya, baik yang bersifat langsung seperti mengeluarkan peraturan atau undang-undang, maupun yang tidak langsung.  Diskriminasi ini sengaja diterapkan untuk  membuat perbedaan dalam kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu antara penduduk asli dan orang-orang non pribumi.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda (dan asing lainnya) yang dilakukan pada 1957 dan 1958 adalah awal dari periode “ekonomi terpimpin”.  System politik dan ekonomi pada masa orde lama, khususnya setelah “ekonomi terpimpin” dicanangkan, semakin dekat dengan pemikiran sosialis-komunis.  Sebenarnya pemerintah khususnya dan masyarakat umumnya, memilih pemikiran politik berbau komunis hanya merupakan refleksi dari perasaan anti kolonialisasi, anti imperealisasi dan anti kapitalisasi pada masa itu.  Di Indonesia pada masa itu prinsip individualisme, persaingan bebas dan perusahaan swasta/asing sangat ditentang oleh pemerintah dan masyarakat umumnya prinsip tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran kapitalisme.
Keadaan ini membuat Indonesia sulit mendapat dana (pinjaman dan Penanaman Modal Asing) dari negara-negara barat.  Sumber utama PMA di Indonesia berasal dari Belanda.
Akhir Sptember 1965, ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari PKI, yang selanjutnya juga mengubah system ekonomi Indonesia dari sosialis ke semikapitalis.

C.    PEMERINTAHAN ORDE BARU
Tepatnya Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan orde baru.  Perhatian pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan social di tanah air.  Hubungan dengan negara barat dijalin kembali dan ideology komunis dijauhi.  Indonesia kembali menjadi anggota PBB, IMF dan World Bank.
Langkah yang dilakukan pada masa orde baru antara lain:
1.       pemulihan stabilitas ekonomi, social dan politik serta rehabilitasi ekonomi
2.      mencukupkan stok cadangan bahan pangan (terutama beras)
3.      menghidupkan kegiatan produksi
4.      meningkatkan ekspor
5.      menekan tingkat inflasi
6.      mengurangi defisit keuangan pemerintah
7.      menciptakan lapangan pekerjaan
8.      mengundang kembali investor asing
9.      penyusunan rencana pembangunan lima tahun secara bertahap dengan target-target yang jelas
Secara keseluruhan program ekonomi pemerintah orde baru dibagi menjadi dua jangka waktu yang saling berkaitan yaitu Program jangka pendek dan Program jangka panjang.  Program jangka pendek meliputi:
1.       tahap penyelamatan (Juli-Desember 1966)
2.      tahap rehabilitasi (Januari-Juni 1967)
3.      tahap konsolidasi (Juli-Desember 1967)
4.      tahap stabilisasi (Januari-Juni 1968)
Program jangka pendek ini dilanjutkan dengan program jangka panjang, yang terdiri atas rangkaian REPELITA yang dimulai April 1969.  program jangka panjang dibagi menjadi tahapan-tahapan Repelita.  Tahap pelaksanaan Pelita I (1969/1970) sampai Pelita V (1993/1994) disebut Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun Pertama (PJP I).  Sedangkan Pelita VI sampai Repelita X disebut PJP II.  Namun pemerintah orde baru hanya dapat menyelesaikan sampai tahap pembangunan pelita VI sedangkan pelita VII hanya sempat dilaksanakan satu tahun anggaran.
Adapun tujuan janka  panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa orde baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui proses industrialisasi dalam skala besar, yang pada saat itu diangggap satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran.
Pada masa pemerintahan orde baru pelaksanaan pembangunan senantiasa  diarahkan pada pencapaian tiga sasaran pembangunan, meskipun prioritasnya berubah-ubah sesuai dengan masalah dan situasi yang dihadapi saat ini.  Ketiga sasaran tersebut dikenal dengan Trilogi Pembangunan:
•         stabilitas perekonomian
•         pertumbuhan ekonomi
•         pemerataan hasil-hasil  pembangunan
Dampak Repelita I dan pelita-pelita berikutnya terhadap perekonomian Indonesia cukup mengagumkan.  Proses pembangunan berjalan sangat cepat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun yang cukup tinggi, jauh lebih baik daripada selama orde lama dan juga relatif lebih tinggi daripada laju rata-rata pertumbuhan ekonomi dari kelompok negara-negara berkembang.
Perubahan ekonomi structural juga sangat nyata selama masa orde baru bila dilihat dari perubahan PDB, terutama dari sector pertanian dan industri.  Meningkatnya kontribusi output dari sector industri manufaktur terhadap pertumbuhan PDB selama periode orde baru mencerminkan adanya proses industrialisasi atau transformasi ekonomi di Indonesia dari negara agraris ke semi industri.  Ini merupakan salah satu perbedaan nyata dalam sejarah perekonomian Indonesia antara rezim orde baru dengan orde lama.
Sejak masa orde lama hingga berakhirnya orde baru dapat dikatakan Indonesia telah mengalami 2 orientasi kebijakan ekonomi yang berbeda, yakni ekonomi tertutup yang berorientasi sosialis pada  jaman Soekarno ke ekonomi terbuka yang berorientasi kapitalis pada jaman Soeharto.  Perubahan orientasi kebijakan ekonomi ini membuat kinerja ekonomi nasional pada pemerintahan orde baru lebih baik dibanding pemerintahan orde lama.
Pengalaman ini menunjukkan beberapa kondisi utama yang harus  dipenuhi terlebih  dahulu agar usaha  membangun ekonomi berjalan baik.  Kondisi-kondisi tersebut adalah sebagai berikut:
1.       kemauan yang kuat (political will)
2.      stabilitas politik dan ekonomi
3.      SDM yang lebih baik
4.      system politik dan ekonomi yang Western Oriented
5.      kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik
Kebijakan-kebijakan ekonomi masa orde baru memang telah menghasilkan proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi dengan biaya yang sangat mahal dan fundamental  ekonomi yang rapuh.  Dapat dilihat antara lain pada buruknya kondisi sector perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing, termasuk pinjaman dan impor.

D.   PEMERINTAHAN TRANSISI
Tanggal 14 dan 15 Mei 1997 nilai tukar bath Thailand terhadap dolar AS mengalami goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan “jual”.  Mereka mengambil sikap demikian karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk jangka pendek.  2 Juli 1997 bank sentral Thailand terpaksa mengumumkan nilai tukar bath dibebaskan dari ikatan dengan dolar AS.  Sejak itu nasibnya diserahkan sepenuhnya pada pasar.  Hari itu juga pemerintah Thailand meminta bantuan IMF.
Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara asia lainnya, awal dari krisis keuangan di Asia.  Rupiah Indonesia  mulai terasa goyang sekitar Juli 1997 dari Rp.2500 menjadi Rp.2650 per dolar AS.  Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil.
Sekitar September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional.  Untuk mencegah agar keadaan tidak bertambah buruk, pemerintah orde baru mengambil beberapa langkah konkrit, di antaranya menunda proyek-proyek senilai Rp.39 trilyun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi perubahan nilai rupiah tersebut.  Awalnya pemerintah berusaha menangani krisis rupiah ini dengan kekuatan sendiri.  Akan tetapi setelah menyadari merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak dapat dibendung lagi dengan kekuatan sendiri, lebih lagi karena cadangan dolar AS di BI mulai menipis karena terus digunakan untuk intervensi untuk menahan atau untuk mendongkrak kembali nilai tukar rupiah.  8 Oktober 1997 pemerintah Indonesia meminta bantuan keuangan dari IMF.  Hal yang sama juga dilakukan pemerintah Thailand, Filiphina dan Korea Selatan.
Akhir Oktober 1997 IMF mengumumkan paket bantuannya pada Indonesia yang mencapai 40 milyar dolar AS, 23 milyar di antaranya adalah pertahanan lapis pertama (front line defence).  Sehari setelah pengumuman itu, seiring dengan paket reformasi yang ditentukan oleh IMF, pemerintah mengumumkan pencabutan ijin usaha 16 bank swasta  yang dinilai tidak sehat.  Ini merupakan awal kehancuran perekonomian Indonesia.
Krisis rupiah yang menjelma menjadi krisis  ekonomi akhirnya menimbulkan krisis politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka.  21 Mei 1998 presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh wakilnya BJ.Habibie. 23 Mei 1998 presiden Habibie membentuk kabinet baru, awal terbentuknya pemerintahan transisi.

E.    PEMERINTAHAN REFORMASI
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan.  Laju pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0 % dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5 %.
Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satupun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik.  Berbagai kerusuhan social yang bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan di Aceh, Maluku, dsb.  Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elit politik semakin besar.

Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU no.23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia, penetapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya.  Tidak tuntasnya revisi tersebut menyebabkan IMF menunda pencairan bantuannya, padahal roda perekonomian nasional saat itu bergantung  pada bantuan IMF.  Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara  donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia  dengan kondisi perekonomian yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali hutangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo pada 2002.  bahkan Bank Dunia  juga mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.