JURNALISTIK KUNING
Jurnalistik kuning lahir ketika ada pertempuran headline dua media yang berada di kota New
York pada tahun 1800an, antara Joseph Pulitzer dan Wiliam Randolph Hearst. Jurnalisme
Kuning memiliki ciri khas, yaitu beritanya boombastis, sensasional dan judul
dibuat semenarik mungkin dengan tujuan untuk meningkatkan oplah penjualan agar
berlipat-lipat. Paham atau aliran Jurnalisme Kuning ikut mewarnai dunia pers di
Indonesia terutama setelah digulirnya orde baru. Terjadi eforia kebebasan pers
yang kadang berlebihan dan terasa kelewatan. Headline judul dan isi berita yang
disajikan terlalu fantastis dan cenderung berlebih-lebihan.
Begitu
kuatnya unsur sensasionalisme dalam berita, menjadikan elemen tersebut dikenal
sebagai ciri khas dari jurnalisme kuning, Selain unsur sensasionalisme dan
dramatisasi dalam penulisan berita, ciri utama lainnya dari koran kuning adalah
penggunaan aspek visual yang cenderung berlebihan, bahkan terkesan lebih
dominan daripada teks beritanya. Aspek visual yang digunakan oleh koran kuning
antara lain berupa: (1) scare-heads; headline yang memberi efek ketakutan, ditulis dalam
ukuran font yang sangat besar, dicetak dengan warna hitam atau merah.
Seringkali materinya berisi berita-berita yang tidak penting; (2) penggunaan
foto dan gambar yang berlebihan; dan (3) suplemen pada hari minggu, yang berisi
komik berwarna dan artikel-artikel sepele. Adanya teknik verbal yang melekat
pada koran kuning, yakni berbagai jenis peniruan dan penipuan, misalnya cerita
dan wawancara palsu, judul yang menyesatkan, pseudo-science, dan bahkan judul-judul penuh
kebohongan.
Di samping menggunakan teknik-teknik di atas, koran kuning
juga memfokuskan pemberitaannya pada isu-isu kontroversial yang mampu memancing
perdebatan dan gosip. Isu-isu kontroversial ini sengaja diangkat untuk menarik
perhatian pembaca sebanyak-banyaknya, terutama pembaca yang berasal dari
kalangan kelas menegah ke bawah di perkotaan. Isu-isu yang sering memancing
kontroversi ini, antara lain isu yang berkaitan dengan unsur sex, conflict, and crime (seks,
konflik, dan kriminal).
Nilai berita yang mendasar seperti significance, prominence, dan magnitude, cenderung diabaikan.
Karena jurnalisme kuning menonjolkan sensasionalime daripada berita (fakta) itu
sendiri, maka beritanya menjadi tidak penting atau oleh sebagian pihak yang
menentang kehadiran koran kuning ini disebut sebagai “berita sampah”.
Menurut Adhiyasasti & Rianto (2006, 116-117),
karakteristik koran kuning di Indonesia terfokus pada halaman pertama. Terkait
dengan halaman ini, setidaknya ada empat ciri yang menonjol. Pertama, pemasangan foto
peristiwa kriminal dan foto perempuan dengan penekanan seksualitas tubuh
perempuan. Kedua, headline berukuran besar dengan
warna-warni yang mencolok, misalnya merah, biru, kuning, dan hijau. Ketiga, banyaknya item berita
di halaman muka. Jika biasanya koran umum memasang 5 hingga 8 item berita,
jumlah berita yang ditampilkan di halaman depan koran kuning berkisar antara 10
sampai 25 item berita. Formatnya berupa berita yang sangat singkat, bahkan
kerap hanya berupa judul dan lead kemudian
bersambung ke halaman dalam. Uniknya, tidak sedikit judul dicetak sedemikian
besar hingga ukurannya melebihi isi berita itu sendiri. Keempat, dilihat dari iklan yang
dimuat, koran kuning di Indonesia umumnya menampilkan berbagai bentuk iklan
yang tergolong vulgar, kadang dilengkapi dengan foto, gambar, atau kata-kata
sensasional. Iklan tersebut pada umumnya berbau seksual dan supranatural
(klenik), contohnya iklan pembesar alat vital laki-laki atau payudara wanita,
layanan telepon seks, pijat (message), mainan
seks (sex toys), paranormal, hingga
penyembuhan alternatif. Pada beberapa koran kuning, ciri-ciri di atas tidak
hanya terlihat di halaman depan, namun juga berlaku untuk halaman belakang,
bahkan di halaman dalam.
Contoh dari Jurnalistik kuning ialah Koran Lampu Merah yang menyajikan
berita yang begitu wah. Tapi isinya belum tentu wah. Seperti, Berita tentang
Penyodoman Seorang bocah yang di tulis dengan judul “Bocah Tujuh Tahun Disodomi
Gurunya, Katanya Biar Pintar Berbahasa Inggris”. Di judul tersebut headline berukuran besar dengan warna yang mencolok.
Koran kuning sebagai salah satu bentuk media massa
telah melakukan beberapa pelanggaran dalam etika jurnalistik. Diantaranya
adalah kurang memperhatikannya kaidah – kaidah sebagai mana fungsin dari
jurnalistik sendiri. Oleh karena itu, seharusnya media tersebut harus lebih
profesional dalam menjalankan fungsinya. Selain itu peran dari masyarakat dan
pemerintah (hukum) harus ikut andil dalam mengawasi keberadaan koran kuning
yang meresahkan moral masyarakat.
Etika dan moral media tidak hanya diukur dari berapa
banyak orang yang bisa menikmatinya (kuantitas), tetapi suatu moral yang luhur
tidak bisa lepas dari sudut empirisnya. Dimana standarisasi kebahagiaan di ukur
dari orang – orang yang berpendidikan dan berpengalaman. Selain itu media harus
lebih melihat dampak dari berita yang di sampaikan, apakah lebih banyak
menimbulkan dampak positif atau negatif.