Tuesday, May 7, 2013

OPINI PERANAN KEARIFAN LOKAL DALAM MENCIPTAKAN HARMONI


OPINI PERANAN KEARIFAN LOKAL DALAM MENCIPTAKAN HARMONI
Oleh : Ahmad Jamaluddin Islami
D1C110041

Kearifan lokal (local wisdom) secara etimologi terdiri dari dua kata yaitu kearifan yang berarti kebijaksanaan (wisdom) dan lokal (local) berarti setempat. Dan secara terminologi, local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang pertama kali dikenalkan oleh Quaritch Wales. (Ayatrohaedi, 1986). Sementara Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri. Moendardjito mengatakan, unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji bertahan sampai sekarang.

Ciri-ciri kearifan local di antaranya; mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mampu mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, mampu mengendalikan, dan mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Di masyarakat Indonesia terdapat banyak kearifan lokal yang memuat nilai-nilai toleransi dan kerukunan. Fanatisme agama yang mudah menyebabkan segregasi sosial bisa diredam dengan menggunakan strategi budaya berbasis kebijaksanaan tradisi maupun nilai yang diwariskan nenek moyang. Secara fungsional, tradisi lokal mampu merawat kondisi masyarakat agar tetap guyub-rukun.
Dalam konstruksi kebudayaan, kearifan lokal sebenarnya adalah pengetahuan masyarakat lokal dalam merespons situasi-situasi khusus menyangkut komunalitas-kolektivitas hidup mereka. Kearifan lokal merupakan buah kecerdasan kreatif masyarakat yang mengandung limpahan nilai, dan pada praktiknya menjadi acuan normatif dalam bertingkahlaku di dalam masyarakat.

Entah kenapa kearifan lokal sering dituding terlalu tradisional, statis, dan cenderung mengandung keinginan mempertahankan keadaan klasik dan primitf serta tanda keterbelakangan dan penghambat kemajuan sosial.

Suatu pendapat yang semakin mengokohkan polarisasi antara inovasi dengan kearifan lokal. Namun pendapat berbeda dikemukakan oleh Michael R. Dove (dalam Suwarsono, 1994 : 62-63). Bagi Dove, tradisional tidak harus berarti terbelakang. Dove melihat bahwa budaya tradisional sangat dan selalu terkait dengan proses perubahan ekonomi, sosial, dan politik dari masyarakat pada tempat dimana budaya tradisional tersebut melekat.
Jadi budaya tradisional akan senantiasa mengalami perubahan yang dinamis, sehingga sama sekali tidak menghambat inovasi menuju kemajuan.

Dengan demikian, kearifan lokal Banjar yang sarat dengan norma dan nilai-nilai luhur yang bersumber dari semangat ajaran agama, diharapkan mampu mencegah dan membentengi dari upaya penumbuhan paham radikal, dimana menganggap bahwa dalam membangun masyarakat yang ideal harus selalu merujuk kepada teori-teori social modern yang berkiblat pada teori-teori yang di hasilkan oleh orang-orang Barat.

Memang kedengarannya tren dan ilmiah, tetapi belum tentu sesuai dengan budaya kita yang berbasis masyarakat fikhi dan sufitik yang terbangun dari semangat ajaran agama Islam. Hal inilah yang menjadi kata kunci untuk dapat kembali melihat eksistensi kearifan lokal Banjar sebagai sumber norma dalam kehidupan social.

Kesadaran tersebut dinilai sudah mulai luntur dan perlu dikuatkan kembali. Olehnya itu, diharapkan peran tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemudah dan pemimpin daerah ini, agar dapat menerjemahkan kearifan lokal dalam segala aspek kehidupan sehari-hari, baik dalam mengelolah pemerintahan, organisasi dan masyarakat. Berangkat dari uraian di atas, maka tulisan ini akan memuat secuil kearifan local dari sekian banyak kearifan lokal banjar yang dikutip dari gagasan Mukhlis Latif dalam sebuah makalahnya yang membahas “Peran Kearifan Local Sebagai Strategi Dalam Penyelesaian Konflik”. Menurutnya bahwa masyarakat dan konflik merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan bersifat alamiah. Hal ini didasarkan pada pandangan Alo Liliweri, bahwa konflik itu normal dan tidak dapat dielakkan sepanjang ada interaksi dan kerjasama antar manusia.

Dalam masyarakat majemuk seperti Bangsa Indonesia terdapat banyak sekali kearifan-kearifan lokal yang sangat potensial dalam penyelesaian konflik untuk menciptakan damai.

Kearifan lokal (local genius/local wisdom) dapat menjelma sebagai ‘substansi ucapan’ maupun sebagai ‘praktek kehidupan’. Sebagai ‘substansi ucapan’, kearifan lokal menjelma sebagai pernyataan hikmah kebijaksanaan dalam bentuk nyanyian, peribahasa, sasanti, petuah, semboyan dan pesan-pesan yang tersajikan secara prosais ataupun puitis. Sebagai ‘praktek kehidupan’, kearifan lokal menjelma dalam bentuk perilaku hidup yang penuh hikmah kebijaksanaan sebagai hasil preskripsi dari substansi nyanyian, peribahasa, sasanti, petuah, semboyan dan pesan-pesan prosais maupun puitis.

Di masyarakat Indonesia terdapat banyak kearifan lokal yang memuat nilai-nilai toleransi dan kerukunan. Fanatisme agama yang mudah menyebabkan segregasi sosial bisa diredam dengan menggunakan strategi budaya berbasis kebijaksanaan tradisi maupun nilai yang diwariskan nenek moyang. Secara fungsional, tradisi lokal mampu merawat kondisi masyarakat agar tetap guyub-rukun.

Dalam konstruksi kebudayaan, kearifan lokal sebenarnya adalah pengetahuan masyarakat lokal dalam merespons situasi-situasi khusus menyangkut komunalitas-kolektivitas hidup mereka. Kearifan lokal merupakan buah kecerdasan kreatif masyarakat yang mengandung limpahan nilai, dan pada praktiknya menjadi acuan normatif dalam bertingkahlaku di dalam masyarakat.