OPINI PERANAN
KEARIFAN LOKAL DALAM MENCIPTAKAN HARMONI
Oleh : Ahmad
Jamaluddin Islami
D1C110041
Kearifan
lokal (local wisdom) secara etimologi terdiri dari dua kata yaitu kearifan yang
berarti kebijaksanaan (wisdom) dan lokal (local) berarti setempat. Dan secara
terminologi, local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan,
nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya.
Dalam
disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan
istilah yang pertama kali dikenalkan oleh Quaritch Wales. (Ayatrohaedi, 1986).
Sementara Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural
identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut
mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan
sendiri. Moendardjito mengatakan, unsur budaya daerah potensial sebagai local
genius karena telah teruji bertahan sampai sekarang.
Ciri-ciri
kearifan local di antaranya; mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki
kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mampu mengintegrasikan unsur
budaya luar ke dalam budaya asli, mampu mengendalikan, dan mampu memberi arah
pada perkembangan budaya.
Di
masyarakat Indonesia terdapat banyak kearifan lokal yang memuat nilai-nilai
toleransi dan kerukunan. Fanatisme agama yang mudah menyebabkan segregasi
sosial bisa diredam dengan menggunakan strategi budaya berbasis kebijaksanaan
tradisi maupun nilai yang diwariskan nenek moyang. Secara fungsional, tradisi
lokal mampu merawat kondisi masyarakat agar tetap guyub-rukun.
Dalam
konstruksi kebudayaan, kearifan lokal sebenarnya adalah pengetahuan masyarakat
lokal dalam merespons situasi-situasi khusus menyangkut
komunalitas-kolektivitas hidup mereka. Kearifan lokal merupakan buah kecerdasan
kreatif masyarakat yang mengandung limpahan nilai, dan pada praktiknya menjadi
acuan normatif dalam bertingkahlaku di dalam masyarakat.
Entah
kenapa kearifan lokal sering dituding terlalu tradisional, statis, dan
cenderung mengandung keinginan mempertahankan keadaan klasik dan primitf serta
tanda keterbelakangan dan penghambat kemajuan sosial.
Suatu
pendapat yang semakin mengokohkan polarisasi antara inovasi dengan kearifan
lokal. Namun pendapat berbeda dikemukakan oleh Michael R. Dove (dalam
Suwarsono, 1994 : 62-63). Bagi Dove, tradisional tidak harus berarti
terbelakang. Dove melihat bahwa budaya tradisional sangat dan selalu terkait
dengan proses perubahan ekonomi, sosial, dan politik dari masyarakat pada
tempat dimana budaya tradisional tersebut melekat.
Jadi
budaya tradisional akan senantiasa mengalami perubahan yang dinamis, sehingga
sama sekali tidak menghambat inovasi menuju kemajuan.
Dengan
demikian, kearifan lokal Banjar yang sarat dengan norma dan nilai-nilai luhur
yang bersumber dari semangat ajaran agama, diharapkan mampu mencegah dan
membentengi dari upaya penumbuhan paham radikal, dimana menganggap bahwa dalam
membangun masyarakat yang ideal harus selalu merujuk kepada teori-teori social
modern yang berkiblat pada teori-teori yang di hasilkan oleh orang-orang Barat.
Memang
kedengarannya tren dan ilmiah, tetapi belum tentu sesuai dengan budaya kita
yang berbasis masyarakat fikhi dan sufitik yang terbangun dari semangat ajaran
agama Islam. Hal inilah yang menjadi kata kunci untuk dapat kembali melihat eksistensi
kearifan lokal Banjar sebagai sumber norma dalam kehidupan social.
Kesadaran
tersebut dinilai sudah mulai luntur dan perlu dikuatkan kembali. Olehnya itu,
diharapkan peran tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemudah dan
pemimpin daerah ini, agar dapat menerjemahkan kearifan lokal dalam segala aspek
kehidupan sehari-hari, baik dalam mengelolah pemerintahan, organisasi dan
masyarakat. Berangkat dari uraian di atas, maka tulisan ini akan memuat secuil
kearifan local dari sekian banyak kearifan lokal banjar yang dikutip dari
gagasan Mukhlis Latif dalam sebuah makalahnya yang membahas “Peran Kearifan
Local Sebagai Strategi Dalam Penyelesaian Konflik”. Menurutnya bahwa masyarakat
dan konflik merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan bersifat
alamiah. Hal ini didasarkan pada pandangan Alo Liliweri, bahwa konflik itu
normal dan tidak dapat dielakkan sepanjang ada interaksi dan kerjasama antar
manusia.
Dalam
masyarakat majemuk seperti Bangsa Indonesia terdapat banyak sekali
kearifan-kearifan lokal yang sangat potensial dalam penyelesaian konflik untuk
menciptakan damai.
Kearifan
lokal (local genius/local wisdom) dapat menjelma sebagai ‘substansi ucapan’
maupun sebagai ‘praktek kehidupan’. Sebagai ‘substansi ucapan’, kearifan lokal
menjelma sebagai pernyataan hikmah kebijaksanaan dalam bentuk nyanyian,
peribahasa, sasanti, petuah, semboyan dan pesan-pesan yang tersajikan secara
prosais ataupun puitis. Sebagai ‘praktek kehidupan’, kearifan lokal menjelma
dalam bentuk perilaku hidup yang penuh hikmah kebijaksanaan sebagai hasil
preskripsi dari substansi nyanyian, peribahasa, sasanti, petuah, semboyan dan
pesan-pesan prosais maupun puitis.
Di
masyarakat Indonesia terdapat banyak kearifan lokal yang memuat nilai-nilai
toleransi dan kerukunan. Fanatisme agama yang mudah menyebabkan segregasi
sosial bisa diredam dengan menggunakan strategi budaya berbasis kebijaksanaan
tradisi maupun nilai yang diwariskan nenek moyang. Secara fungsional, tradisi
lokal mampu merawat kondisi masyarakat agar tetap guyub-rukun.
Dalam
konstruksi kebudayaan, kearifan lokal sebenarnya adalah pengetahuan masyarakat
lokal dalam merespons situasi-situasi khusus menyangkut
komunalitas-kolektivitas hidup mereka. Kearifan lokal merupakan buah kecerdasan
kreatif masyarakat yang mengandung limpahan nilai, dan pada praktiknya menjadi
acuan normatif dalam bertingkahlaku di dalam masyarakat.